Imamal-Ghazali di kitab yang sama lantas menjelaskan tentang adab berziarah ke makan Rasulullah. Al-Ghazali menggarisbawahi bahwa penghormatan yang setinggi-tingginya mesti ditunjukkan kala berziarah ke makam Rasulullah. BACA JUGA: Belajar kepada Uwais Al-Karni
Ulama ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah. Harum namanya dan dampak karya-karyanya terasa hingga saat ini. Kaum Muslimin, khususnya yang berhaluan ahlus sunnah wal jama’ah, memandangnya sebagai sang pembela agama Islam Hujjatul Islam. Sosok yang dimaksud adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusiy. Imam Ghazali, demikian sapaan akrabnya, menekuni banyak bidang ilmu, terutama filsafat, akhlak, dan tasawuf. Gelar al-Ghazali merujuk pada kota tempatnya dilahirkan, Gazalah, yang berlokasi dekat Tus, Khurasan. Pada abad ke-11, daerah itu termasuk wilayah Kesultanan Seljuk, sedangkan kini menjadi bagian dari negara Iran. Ghazali merupakan putra seorang pemintal wol. Ia lahir pada 1058 Masehi atau 450 Hijriyah. Lingkungan keluarganya termasuk yang taat beragama. Pendidikannya bermula dari mengaji Alquran dengan sang ayah. Setelah bapaknya meninggal, Ghazali kecil dan saudara lelakinya dititipkan kepada sahabat almarhum, yakni Ahmad bin Muhammad ar-Razikani. Mursyid tarekat ini mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu fikih dan kesusastraan sufistik. Di samping itu, Ghazali juga menuntut ilmu di madrasah setempat. Setelah lulus, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota pusat aktivitas intelektual di kawasan Persia. Dengan tekun, ia mempelajari bahasa Arab dan Persia serta ilmu-ilmu agama. Selanjutnya, pemuda itu memutuskan kembali ke Tus lantaran kurang puas dengan pelajaran yang diperolehnya selama ini. Beberapa tahun kemudian, Ghazali menuju Nishapur untuk menempuh pendidikan di Madrasah Nizamiyah yang saat itu dipimpin seorang ulama aliran Asy'ariah, Imam al-Haramain al-Juwaini. Jaringan madrasah Nizamiyah tersebar di penjuru wilayah Seljuk. Inisiatornya adalah perdana menteri wazir Nizam al-Mulk. Selama di Nishapur, Ghazali muda terus mendalami ilmu-ilmu ushul fikih, mantik, dan kalam. Selama di Nishapur, Ghazali muda terus mendalami ilmu-ilmu ushul fikih, mantik, dan kalam. Kecerdasannya membuat al-Juwaini amat terkesan. Dia pun diperbolehkan mengajar kapan pun ketika kepala Madrasah Nizamiyah tersebut berhalangan hadir. Pada masa ini pula, Ghazali terus mempertajam kemampuannya dalam menulis. Al-Juwaini wafat saat Ghazali ber usia sekitar 27 tahun. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk memenuhi undangan Nizam al-Mulk di Isfahan. Istana Seljuk di Isfahan merupakan tempat pertemuan elite tidak hanya para pejabat negeri, tetapi juga alim ulama dan cendekiawan terkemuka. Sejak aktif di Isfahan, nama Ghazali kian bersinar. Lantaran mengakui derajat intelektualnya, Nizam al-Mulk pun selalu menerimanya dengan penghormatan. Pada 1090, sang wazir mengangkatnya sebagai guru besar Akademi Nizamiyah di Baghdad. Kedudukan itu membuat Ghazali begitu dihormati di seluruh negeri, padahal usianya belum mencapai 40 tahun. Selama di Kota Seribu Satu Malam, Imam Ghazali menyibukkan diri dengan majelis-majelis ilmu. Ia juga kerap memberikan nasihat kepada kalangan istana, termasuk Nizam al-Mulk. Surat-surat yang berisi petuahnya kepada sang wazir terhimpun dalam karyanya, Nasihat al-Mulk. Salah satu petuahnya adalah, bahwa rasa syukur terbaik yang bisa dipanjatkan seorang penguasa kepada Allah ialah menegakkan kebenaran serta menghapus penindasan di tengah rakyatnya. Rasa syukur terbaik yang bisa dipanjatkan seorang penguasa kepada Allah ialah menegakkan kebenaran serta menghapus penindasan di tengah rakyatnya. Mencari kebenaran Empat tahun lamanya Imam Ghazali memegang jabatan tinggi di Akademi Nizamiyah. Hingga akhirnya, ia pun merenungi perjalanan hidupnya sejauh ini, terutama setelah mempelajari teologi ilmu kalam dari al-Juwaini. Ilmu kalam membahas berbagai aliran yang kadang kala satu sama lain saling berkontradiksi. Ghazali mulai merasa, sudah tiba waktu baginya untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dia meyakini, pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera tak dapat dipercaya. Sebab, kelima indra itu dapat saja salah. Pada awalnya, Ghazali meletakkan kepercayaan pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, tetapi kemudian hal ini juga tak memuaskannya. Krisis spiritual dan intelektual yang dialaminya itu terekam dalam karyanya, al-Munqidz Mina adh-Dhalal. Selama enam bulan, Ghazali mengalami kegelisahan batin. Dia bimbang, apakah meneruskan posisinya sebagai pengajar atau berhenti. Sebab, ia sudah teranjur skeptis pada keandalan akal rasional dan metode empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Satu-satunya pilihan yang baginya terbuka lebar ialah jalan salik, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu yang tercerahkan oleh iman kepada Allah SWT. Baginya, tasawuf telah menghilangkan segala kesangsian dalam diri. Pada 1905, Imam Ghazali meletakkan jabatan di Akademi Nizamiyah. Dia lalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa bekal secukupnya. Kepada keluarganya, dia meninggalkan sejumlah harta yang memadai sebagai nafkah. Rekan-rekannya menganggap, Ghazali akan menunaikan ibadah haji, padahal faktanya lebih dari itu. Dia berupaya menempuh rihlah yang akan memalingkannya dari kekayaan, pangkat, popularitas, dan segala pernak-pernik duniawi. Menulis Ihya Usai musim haji, para petinggi negeri pun terkejut. Sebab, Ghazali tak kunjung pulang ke Baghdad. Raja Seljuk lantas memerintahkan para bawahannya agar segera menelusuri keberadaan penasehatnya itu. Untuk menghilangkan jejak, Ghazali pergi ke Damaskus Suriah lalu Baitul Maqdis. Di kota suci itulah dia mengarang Ihya Ulumuddin sumber lain menyebut, kitab monumental itu ditulis saat pengarangnya tinggal di Masjid Damaskus. Saat mengunjungi makam Nabi Ibrahim AS di Hebron, dia mengucapkan sumpah, tak akan lagi bersedia menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di lembaga-lembaga yang didirikan penguasa. Usai dari Yerusalem, Imam Ghazali berhaji ke Tanah Suci serta mengunjungi makam mulia Rasulullah SAW pada 1096. Setelah itu, dia pergi menuju Tus, daerah tempat kelahirannya. Di sanalah dia kemudian mendirikan halaqah atau majelis ilmu yang diperuntukkan bagi para calon sufi. Pada 1105, penguasa Seljuk, Fakhr al-Mulk mendesaknya agar bersedia mengajar di Madrasah Nizamiyah lagi. Dengan alasan tertentu, dia pun mengalah sehingga kembali ke Nishapur-pusat pemerintahan saat itu-untuk memenuhi permintaan putra Nizam al-Mulk itu. Tugas ini tak lama diembannya. Dirinya pamit dari kota itu untuk kembali membimbing para murid di halaqah yang didirikannya. Ulama yang zuhud dan warak ini menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi 10 tahun lamanya. Masyarakat sangat mencintainya sebagai sosok teladan dalam ilmu dan amal. Pada 19 Desember 1111, Imam Ghazali meninggal dunia di Tus dalam usia 53 tahun.MenurutGus Ulil, sapaan akrab KH Ulil Abshar Abdallah, kitab Faishal al-Tafriqah adalah salah satu kitab al-Ghazali yang semangatnya adalah mengembangkan sikap toleransi. Kitab ini penting dikaji ditengah marak susahnya toleransi. Penting, karena faktanya, toleransi internal lebih susah dari pada toleransi eksternal.
Hujjatul Islam Imam Al-Gazali. Siapa tak kenal ulama tersohor ini? Kedalaman ilmu ulama bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi tersebut tak diragukan lagi, bahkan oleh para pengkritiknya. Karya tulisnya ratusan dan dibaca selama berabad-abad hingga sekarang. Madzhab tasawufnya diikuti. Ilmu kalamnya menjadi benteng. Dan ulasan ushul fiqihnya menjadi rujukan. Imam al-Ghazali juga serius mendalami filsafat meski akhirnya ilmu ini ia kritik Imam al-Ghazali sebagai ilmuan diakui oleh kawan maupun lawan. Tapi yang mesti diingat, kehebatannya tak datang tiba-tiba. Ulama yang terkenal dengan karya monumental Ihya’ Ulumiddin ini melalui kehidupan berliku sejak kecil. Al-Ghazali hidup dalam keluarga miskin. Ayahnya yang sangat taat beragama adalah seorang pemintal dan melalui perkejaan sederhana ini pula ia menghidupi keluarga. Ia hanya mau menafkahi keluarga dari hasil jerih payahnya diliputi hidup yang serbaterbatas, ayah al-Ghazali menyimpan impian yang begitu menggebu, yakni kedua anaknya, Imam al-Ghazali dan saudaranya Imam Ahmad kelak menjadi orang yang faqîh dan tonggak dalam suksesnya syiar Islam. Ayah Imam al-Ghazali memang orang yang gemar mengunjungi majelis-majelis ilmu, melayani para ulama, dan ketika mendengarkan kalam guru-gurunya itu ia menangis dan merunduk sembari melangitkan doa bagi masa depan tersebut terkabul meski sang ayah tak menyaksikan kebesaran anak-anaknya karena wafat sebelum mereka dewasa. Kerasnya hidup sebagai anak yatim dan semangat menimba ilmu yang terus berkobar membuat al-Ghazali kecil dan saudaranya tumbuh sebagai manusia yang cerdas dan sangat disegani. Wawasannya luas dan terbuka, pribadinya penuh cinta dan kasih sayang, serta kezuhudan dan ketaatannya dalam beragama amat meyakinkan. Bahkan oleh sang guru, Imam al-Haramain, al-Ghazali dijuluki “bahrun mughdiq” lautan luas tak bertepi.Imam al-Ghazali pernah diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nidhamiyah, Bagdad, era kekuasaan Nidhamul Mulk saat usianya 34 tahun. Ini adalah kedudukan tertinggi di dunia pendidikan dan keislaman zaman itu yang belum pernah disandang siapa pun dalam usia yang relatif muda. Meskipun, kehormatan itu sempat ia lepas begitu saja demi pendalamannya terhadap ilmu demikian, bukan statusnya sebagai profesor itu yang membuat kisah Imam al-Ghazali menarik. Setelah mengakhiri pengabdian di Madrasah Nidhamiyah, sang imam pulang ke kampung asal, Thus, dan mendirikan zawiyah atau semacam pesantren untuk meneruskan khidmah mengajar hingga akhir hayat. Pada detik-detik kewafatannya, sebuah peristiwa indah Faraj ibn al-Juuzi dalam kitab Ats-Tsabât 'indal Mamât memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan shalat shubuh. Usai sembahyang, al-Ghazali berkata, "Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya. Selanjutnya, Imam al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan saman wa thâ’atan lid dukhûli alal mulk.” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan dikebumikan di desa Thabran, kota Thus. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaannya selama hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama, murid-muridnya, dan jutaan umat Islam. Imam al-Ghazali mewariskan ratusan karya tulis, teladan, dan keilmuan yang tak lekang oleh zaman. Mahbib Khoiron
ImamAl-Ghazali Berpesan Jangan Sampai Lupa Dibaca Seiap Waktu Doa Ini. Penulis. Moh Juriyanto - 26 Agustus 2020. 4628. 4. Close Ads X. imam-al-ghazali. Bacaan Shalawat Agar Dipermudah Ziarah ke Makam Rasulullah. 15 Juni 2021. Ini Doa yang Dibaca Nabi Jelang Kematiannya. 31 Desember 2018.loading...Ziarah kubur bagi kaum muslimin memiliki faedah, salah satunya sebagai pembelajaran bagi masa depan manusia, juga sebagai pengingat bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Foto SINDONews Salah satu cara untuk mengingat kematian adalah dengan berziarah kubur. Banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari amalan ini. Sayangnya, masih banyak kaum muslimin yang salah dalam menyikapi ziarah kubur ini sehingga bukannya manfaat yang mereka raih, akan tetapi ziarah mereka justru mengundang murka Allah Azza wa Jalla. Ini karena adab-adab ziarah kubur yang kurang diperhatikan. Baca Juga Seperti diketahui, menjelang bulan Ramadhan tiba, ada kebiasaan masyarakat kita yang melakukan tradisi 'nadran'. Tradisi nadran dimaksudkan untuk mengirim doa kepada orang tua atau keluarga yang telah tiada. Dilakukan dengan melakukan ziarah kubur atau istilahnya 'nyekar' dalam masyarakat Sunda. Namun, agar ziarah kubur ini berfaedah maka ada adab-adab yang harus diperhatikan. Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya 'Ihya 'Ulumiddin', menjelaskan, ziarah kubur bagi kaum muslimin memiliki faedah, salah satunya sebagai pembelajaran bagi masa depan manusia, juga sebagai pengingat bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Baca Juga Agar faedah ziarah kubur ini didapatkan, maka ada adab yang harus dijalankan dengan benar. Berikut penjelasan Imam al-Ghazali, tentang adab-adab ziarah kubur1. Dianjurkan berdiri atau duduk dengan membelakangi kiblatHal ini dilakukan supaya antara mayit maupun orang yang berziarah dapat saling berhadapan. Jika jenazah yang dikunjungi menghadap arah kiblat, maka yang berziarah perlu membelakangi kiblat agar dapat berhadap-hadapan. Pendapat ini tentu dapat diterima, karena sangat tidak sopan apabila seorang tamu tidak berkenan menatap wajah tuan rumah. Baca Juga 2. Mengucapkan salam sebagai doa keselamatan untuk penghuni makamImam al-Ghazali mengutip penuturan Imam Nafi’ bahwa perilaku ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Ibnu Umar ketika menziarahi makam ayahnya. Ia mengucapkan salam untuk Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, dan ayahnya Umar bin Khatab. Selain itu, dikutip pula kaul Abi Umamah bahwa Anas bin Malik juga melakukan hal demikian ketika menziarahi makam Nabi Muhammad oleh Ibnu Abi Malikah, Rasulullah SAW bersabdaزُوْرُوا مَوْتَاكُمْ وَسَلِّمُوا عَلَيْهِمْ فَإِنَّ لَكُمْ فِيْهِمْ عِبْرَةٌ“Ziarahilah mayit-mayit kalian dan ucapkanlah salam atas mereka. Karena mereka adalah ibrah pelajaran bagi kalian semua.” Baca Juga 3. Tidak perlu menyentuh, mengusap, dan mencium makam maupun batu nisan orang yang karena hal itu menyerupai perilaku orang-orang Nasrani ketika mengunjungi makam kelompok mereka. Memang melakukan hal tersebut tidak lantas menjadikan pelakunya sebagai orang kafir, akan tetapi patut diperhatikan untuk Mendoakan mayit yang diziarahi secara khusus, dan kaum muslimin secara al-Ghazali mengutip hadis Nabi yang menjelaskan bahwa orang yang telah meninggal itu layaknya orang tenggelam yang menanti pertolongan dari orang yang hidup melalui doa-doanya. Baca Juga Dalammengiringi jenazah ada beberapa adab tertentu yang hendaknya diperhatikan sebagaimana dinasihatkan Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 438), sebagai berikut: آداب المشي في الجنازة: دوام الخشوع وغض البصر وترك الحديث وملاحظة vr48l6p.