Bukuini kiranya hendak menjawab pertanyaan tentang hakikat Islam sebagai doktrin dan peradaban. Buku ini mengangkat isu-isu kunci seputar sosok Nabi Muhammad, al-Qur'an, hadis/sunnah, hukum/syariah, teologi/kalam, filsafat, dan tasawuf. Terkait peradaban, Rahman mengulas tentang tarekat, gerakan filsafat, perkembangan mazhab, pendidikan
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA Makalah Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Wardi Disusun oleh Dwi Fitriyanti 20170703032055 Nur Aisyah 20170703032140 Nurul Fadilah 20170703032143 Yulinar CT 20170703032161 Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2017 Kata Pengantar Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indoesia dan Tokohnya ”. Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini. Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang. Pamekasan, 30 Novenber 2017 penulis Daftar Isi DaftarIsi.................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………… a. Latar belakang ………………………………………………………… b. Rumusan masalah……………………………………………………… c. Tujuan masalah………………………………………………………... BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………. a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........ b. Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia …………………………………... BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….. a. Kesimpulan …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. BAB 1 Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sejarah tasawuf di Indonesia? 2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan! C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia 2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1] Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan Syekh Tarekat Syattariyah. Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa” pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmuro.[2] Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3] B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Ada banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang paling dikenal, diantaranya adalah 1. Hamzah Al-Fansuri Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4] Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung Melayu, Siam, India, Persia dan Arab. Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5] Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud. Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’ syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf, beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi, seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6] Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri, beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7] 2. Syamsuddin Al-Sumatrani Syamsuddin Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah as Sumatrani.[8] Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9] Beliau mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang dianutnya.[10] Setelah beliau menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh. Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh. Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri, yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11] Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12] 3. Nuruddin Ar-Raniri Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13] Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[14] Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi, tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia menolak teori al-faidh emanasi al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15] Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah ternyata didukung oleh sultan.[16] Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17] 4. Abdur Rauf as-Sinkili Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18] Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19] Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum Wujudiyah.[20] Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21] 5. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an 30 juz.[22] Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu tulisan tangannya.[23] Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[24] Kalau ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25] Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathahpeliputan dan al-ma’iyyahkesertaan. Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun tanazul, sementara manusia naik taraqi, suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan.[26] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. 2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia a. Hamzah Al-Fansuri Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun. b. Syamsuddin al-Sumatrani Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. c. Nuruddin ar-Raniri Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. d. Abdur Rauf as-Sinkili As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. e. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia,2010 Nasution Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013 Asrifin, Tokoh-tokoh Shufi,Surabaya Karya Utama [1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2010, hlm. 337. [5] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Surabaya Karya Utama, hlm 256 [9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013, hlm. 65. [10] Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256. [13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344. [16] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65. [18] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263. [19] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348. [20] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67. [21] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264. [22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349. [24] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68. [26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352. Hellobrad and sist fillahKami dari kelompok 6 -zayyan Habib -susilo adi-dandif rahardian- utami ningsihIngin membahas tentang Sejarah dan perkembangan tasaw Atasdasar ini, maka julukan "Serambi Mekkah" yang disandangnya tidaklah berlebihan. Untuk itu, dalam pembicaraan tentang pemikiran tasawuf di Indonesia, maka Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di Indonesia secara keseluruhan. Orang Aceh telah lama merasa bangga akan negeri mereka. 5 Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi'iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman AkhlakTasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf. 1. i MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB Disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah "AKHLAK TASAWUF" Dosen Pembimbing : H.ABDUL GHOFUR NOER, S.Ag,MM NIP. 19520819 197903 1 002 Disusun Kelompok III: 1. Asma'ul Khusna (3217113013) 2.
Olehkarenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah. 6. Pertanyaan Tertutup (Closed Question) Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat.
qmJgZy.
  • dzw58zkw4c.pages.dev/372
  • dzw58zkw4c.pages.dev/226
  • dzw58zkw4c.pages.dev/445
  • dzw58zkw4c.pages.dev/312
  • dzw58zkw4c.pages.dev/461
  • dzw58zkw4c.pages.dev/405
  • dzw58zkw4c.pages.dev/159
  • dzw58zkw4c.pages.dev/290
  • pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia